Pages
Waktu nemu novel Tingka di Gramedia Digital langsung tertarik karena, premisnya tentang seseorang yang datang ke sebuah pulau terpencil demi meneliti sebuah kepercayaan dan adat istiadat kind a dope. Jarang-jarang novel lokal ngambil premis sulit seperti ini.
Sinopsis
Ceritanya sendiri dimulai saat seorang mahasiswa bernama Tazky alias Jonathan datang ke pulau Tingka demi penelitian akhirnya mengenai kepercayaan Midaya dalam masyarakat Tingka. Dalam perjalanan Tazky alias Joe bertemu dengan berbagai orang-orang seperti Bri, Wor, Fikar, Pak Pum, Nyai Kay, Hamba Agung Dei etc.
Dalam menjalani penelitiannya, Tazky alias Joe menemukan bahwa, masyarakat Tika sendiri struggle dengan kepercayaan sebagai penganut Midaya, dimana kepercayaan mereka tidak diakui oleh pemerintah. Selain, itu bagi para penganut kepercayaan Midaya yang keluar dari pulau Tingka harus menghadapi cemooh dan bullyan dari masyarakat luas. Tazky harus dihadapi dengan berbagai orang-orang di pulau Tingka, yang ternyata tidak sebahagia penduduk pulau kecil cantik, belum lagi mereka menutupi keberadaan seorang imam tertinggi Midaya bernama Hamba Agung Dei.
Dari sinilah, Tazky diam-diam harus menguak rahasia yang selama ini disimpan oleh masyarkat Tingka, belum lagi Tazky sendiri datang ke pulau Tingka dengan rahasia sendiri.
Resensi
Tingkah hadir dengan premis menarik dengan berbagai sub plot! Kalau kalian pikir Tingka cuma punya plot mengenai rahasia kepercayaan Midaya salah besar, Tingka punya banyak sub plot mulai dari Bri dengan Fikar, Bri dengan Hamba Agung Dei lalu ada sub plot Wor sampai plot Joe dengan Tazky. Yup plottingan utama dimana Joe datang untuk menguak rahasia pulau Tingka dan kepercayaan Midaya masih diselengi oleh sub plot dari berbagai tokohnya.
Baca Juga Resensi : Pay Sooner Or Later Simple Namun Menghibur
Sub plot ini seru sih bikin Tingka lebih luas dari pada sekadar drama misteri namun, imbasnya bikin kita nggak fokus sama plot utama dan suspense atau unsur ketegangan yang dibangun. Terkadang seru banget, ada misteri apa di kuil Midaya? Lalu beralih ke plot mengenai struggling masyarakat Tingka sebagai penganut kepercayaan lalu move on lagi ke plot kisah kasih Bri dan Fikar. Ini bikin penulis Nicco Macchi nggak bisa konsisten menjaga suspense yang susah payah dibangun dengan munculnya gosip mengenai hantu penunggu di kuil Tingka. Jadinya bingung ini masih bisa disebut drama misteri? 90% drama dan 10% misteri.
Pada bab-bab terakhir pun Nicco Machi seperti kelelahan dalam membangun cerita, sehingga plot twist yang dihadirkan malah langsung diberikan pada tokoh utama bukan tokoh utama si Joe yang menemukan/membongkar. Sayang banget dengan premis dan berbagai sub plot harusnya Tingka, bisa memiliki ending yang ciamik. Padahal plot twis udah bagus, dimana Hamba Agung Dei hanyalah predator seksual berkedok agamais + bapak kandung Bri.
Watersong adalah buku pertama dari Clarissa Goenawan yang saya baca, dari aplikasi Gramedia Digital. Sepintas setelah membaca review dari Goodreads look promising, banyak mainstreams reader yang bilang kalau karya Clarissa Goenawan ini bagus banget maka dari itu, saya memutuskan untuk mencoba membaca Watersong.
Sinopsis
Awalnya Watersong ini memikat sekali dengan, prolog yang terlihat magis dimana tokoh utama Shouji sering banget mimpi tenggelam ketika kecil dan dibawa ke semacam peramal, lantas diramalkan kalau dalam hidupnya akan bertemu dengan tiga perempuan dengan unsur air dan salah satu dari mereka adalah belahan hidupnya.
Baca Juga : Resensi Tingka Kisah Para Penganut Midaya
Nah, ketika cerita berjalan Watersong justru jauh dari segala macam unsur magis. Kita bakalan disuguhi kehidupan Shouji di kota fiktif Akakawa yang mengambil inspirasi dari distrik Tokyo ke 23 Arakawa. Sepanjang 396 halaman, ploting cerita akan bergulir pada Shouji yang bertahun-tahun menjadi pacarnya Youko. Youko sendiri tiba-tiba hilang saat Shouji ikut bekerja di sebuah kedai teh eksklusif sebagai pendengar, dimana orang yang ingin curhat tapi, ingin private bisa mensewa seorang untuk mendengarkan masalah mereka.
Resensi
Plotingan Watersong sendiri terbilang menarik, sekalipun konfliknya linear cuma mencari Youko saja. Pencarian Youko yang menghilang misterius dan melibatkan seorang politikus Jepang, ibarat novel-novel crime thriller. Sekalipun lebih banyak drama yang mengupas siapa sih Shouji sebenarnya? Sialnya, alur Watersong ini lamban banget! Jadi greget crime thrillernya sama sekali nggak dapet, apalagi ditunjang sama background kota Akakawa yang sepi.
Baca Juga : Resensi Pay Sooner Or Later
Watersong sejatinya drama dengan sedikit bumbu magis dan bumbu crime thriller, jadi jangan berharap bakalan ada konflik keren antara Shouji dengan Youko yang ternyata menghilangkan diri. Tokoh Shouji sendiri rada-rada bikin males karena, digambarkan santai dan kurang sigap sekalipun pacarnya Youko menghilang, entah kenapa saya merasa Shouji ini pemalesan banget. Masih ngarep buat ketemu Youko tapi, pacaran dan wikwik sama Liyun?
Untungnya Clarissa Goenawan pinter banget bikin plot, sekalipun banyak flashback tapi plotingan Watersong rapi banget. Ngasih plot twisnya tipis-tipis bikin kita penasaran, ada apa sih sama si Shouji? Sekalipun imbasnya alur jadi lamban banget dan kerasa capek buat ngikutin si Shouji. Udah alur lamban, tokoh utamanya santai kek di pantai dan endingnya pun saya rasa anti klimak, kurang greget dan berkesan getuh.
Pay Sooner Or Later adalah hidden gems di Gramedia Digital, kirain bakalan garing cerita modelan seperti ini, ternyata lumayan menghiburnya. Novel karya Adrinindia Ryandisza ini adalah salah satu pemenang dari GWP tahun lalu. Premisnya sendiri berkutat di seorang cewek bernama Tika yang punya kebiasaan Paylater atau ngutang dulu buat belanja online.
Sinopsis
Tika seorang cewek metropolitan yang kerja di sebuah konsultan pajak, punya kebiasaan nggak sehat berbelabja oline yakni selalu pake Paylater. Tika sendiri selalu merasa senang ketika check out barang-barang yang sebenarnya dia nggak butuh. Hidupnya jadi runyam ketika kontrak kerjanya nggak diperpanjang gegara politik kantor, otomatis Tika nggak punya penghasilan. Untungnya dia dapet kerjaan baru jadi desk collector di sebuah pinjol. Gengsi memang kerjaan turun derajat tapi, Tika butuh uang buat bayar semua cicilan Paylater dia.
Baca Juga : Resensi Words On The Bathroom Walls
Dari sini semua permsalah Tika dimulai, kerja di tempat baru yang nggak bonafit, ketemu sama temen kerja yang ternyata punya masalah finasial juga sampai berbohong sama orang tua perihal Paylater.
Resensi
Pay Sooner Or Later ini sukses bikin saya ketawa ketiwi, apalagi pas adegan Tika sama kedua orang tuanya. Sayang seribu sayang, Pay Sooner Or Later konfliknya tipis banget. Ada banyak hal yang nggak di eksplor lebih detail seperti, jumlah cicilan Tika yang 12 bulan itu berapa? Dia nyisihin berapa dari gajinya buat bayar cicilan? Premisnya tentang paylater tapi, bagaimana Tika bisa membayar semua cicilan sama sekali nggak dijabarin.
Kerjaan sebagai desk collector pun kerasa cuma tempelan saja, fellingnya Pay Sooner Or Later ini ngebut banget. Lalu hubungan dengan Rizal pun sebatas penambah bab saja, padahal ini seru banget apalagi Bapak Tika yag concern sama masalah percintaan anaknya. Harusnya sih bisa lebih dieksplore getuh.
Baca Juga : Resensi Tingka Kisah Para Penganut Midaya
Berbagai konflik di Pay Sooner Or Later punya penyelesaian yang simpel dan cepet, Masalah Didi, Ridwan, Pak Tanto, Tika dengan Yuli pun selesai dengan super cepat bahkan Paylater 12 bulan Tika ujungnya dilunasin sama orang tua. Beneran nggak ada gregetnya dah! Pada akhirnya kita dikasih penjelasan bahwa, kebiasaan ngutang Tika karena dulu nggak pernah bisa dapet apa yag dia mau. Proses berobat ke psikolognya pun super singkat di beberapa halaman terakhir.
Overall Pay Sooner Or Later ketolong karena lucu dan related dengan kehidupan sehari-hari, apalagi konflik Tika dengan Yuli di kantor lama, beuh sumpah itu beneran banget ada. Sayang seribu sayang Pay Sooner Or Later ini seperti kurang dimasak, padahal punya potensi besar buat lebih wow.
Ini adalah buku pertama yang saya baca setelah daftar jadi premium di Gramedia Digital, berhubung belum nonton filmnya jadilah saya meutuskan untuk baca bukunya. Di aplikasi Gramedia Digital Words On The Bathroom Walls cuma 260 halaman, jadi cuma sehari aja langsung beres. Premisnya sendiri amat sangat menarik, berkisah tentang Adam Petrazelli pemuda 16 tahun yang mengidap skizofernia dan harus bergulat supaya bisa tampil normal dalam kehidupannya sehari-hari.
Sinopsi
Adam Petrazelli ini cowok yang mengidap skizofernia, ia bermasalah di sekolah lamanya sehingga dipindahkan ke sekolah katolik baru. Selain itu, Adam juga menjadi relawan untuk sebuah obat baru bernama, ToZaPrex yang dosisnya bakalan ditambah setiap kali Adam selesai evaluasi dengan psikiaternya. Kisah Adam bertahan di sekolah katolik ini yang bakalan jadi central cerita, selain tentunya ada bumbu roman dengan Maya cewek yang naksir sama dia.
Baca Juga : Resensi Nevermoor Mirip Harry Potter
Premis struggling sebagai penderita skizofernia punya beberapa layer mulai dari, struggling di sekolah, struggling di rumah dengan ayah tiri dan adik baru, struggling dengan sang pacar Maya dan struggling dengan obat baru ToZaPrex.
Resensi
Tadinya saya berharap Words On The Bathroom Walls yang mengambil POV sang tokoh utama, bisa bikin kita ngerti kalau penderita skizofernia itu seperti apa sih? Sayangnya Julia Walton nggak bisa deep banget ngegali karakter Adam. Kita cuma disuguhin kalau penderita skizofernia itu ngelihat hal-hal yang gak ada seperti Adam, yang setiap hari melihat Rebecca si cewek cantik lalu ada paduan suara dan beberapa mafia.
Baca Juga : Resensi Pay Sooner Or Later Simple tapi Menghibur
Sialnya di sini Julia Walton menggambarkan Adam itu sebagai penderita skizofernia baru dan ringan, sehingga gejalanya cuma halusinasi, lihat yang nggak ada aja. Sebagai readers kita cuma dikasih intip secuil aja, oh kalau skizoferia itu nggak bisa bedain mana hayalan dan realita.
Struggling Adam memang berlapis-lapis namun, terasa tipis. Kaya kurang greget aja tapi, memang dasarnya Words On The Bathroom Walls adalah buku young adult. Konflik antara Adam dan Maya pun dibuat simple dimana Maya, pada dasarnya suka dan nggak keberatan punya pacar dengan gangguan mental. Overall, Words On The Bathroom Walls ini masih di bawah The Fault Of Our Star namun masih enak untuk dibaca dan di atas standar novel romance remaja lokal.
Yang paling kesel adalah di halaman terakhir, Julia Walton kasih remark kalau dia bukan dokter dan semua hal termasuk nama obat adalah imajinasi kreatif dan berdasarkan dokumentasi saja. I was like, pantes ini kok rada dangkal yah sebagai seorang penderita skizofernia.
Terakhir nemu buku yang exciting banget itu Red Queen dan baru-baru ini saya nemu buku yang katanya punya plot mirip Harry Potter. Sebenarnya buku Nevermoor The Trial of Morrigan Crow ini udah lama cuma gegara covernya menurut saya jelek banget jadinya gak pernah ngelirik. Barulah pas baca review orang-orang yang bilang kalau Nevermoor, plotnya sebagus Harry Potter saya pun coba baca dan buku setebal 466 ini ludes hanya dalam tiga hari saja saking serunya.
sinopsis
Nevermoor menceritakan Morrigan Crow seorang gadis berumur 10 tahun yang masuk ke dalam daftar anak-anak terkutuk, anak-anak ini kerap bawa sial dalam beragam bentuk dan dipastikan bakalan mati ketika malam eventide. Ini membuat keluarga Crow harus terus minta maaf karena, kemanapun Morrigan dibawa pasti ada kesialan dan imbasnya, mereka gak sabar nunggu malam eventide ketika Morrigan bakalan mati.
Ketika malam eventide tiba, nona Morrigan Crow diselamatkan oleh seseorang bernama Jupiter North dan dibawa menuju dunia Nevermoor. Dalam dunia Nevermoor, nona Morrigan diharuskan untuk ikut tes masuk Wunderous Society. Ada tiga tes yang harus dilalui Morrigan sebelum akhirnya, rahasia terkuak kalau Morrigan Crow ini sebenarnya adalah seorang wunder atau manusia dengan bakat ilmu hitam yang kuat.
Resensi
Premisnya mirip Harry Potter banget begitupun plotnya, hanya saja Nevermoor masuk ke dalam golongan high fantasy sebab, Morrigan tinggal di dunia fantasi bukan, dunia nyata seperti Harry Potter. Penokohan Morrigan Crow memang sebelas dua belas dengan Harry cuma beda jenis kelamin saja, plot cerita pun ringan dan mudah diikuti. Untungnya Nevermoor punya plot yang nggak mudah ditebak, kita bakalan kebawa terus buat cari tahu apa sih rahasia yang selama ini disembunyikan sama Jupiter North.
Baca Juga : Review Mary Poppins
Jessica Townsend memang nggak bawa sesuatu yang baru tapi, Nevernoor bakalan mudah banget buat bikin kita terlena masuk ke dalam dunianya. Penokohan yang kuat dibantu plot yang sulit ditebak, bikin Nevermoor betah buat diikutin sampai habis sekalipun ini buku anak-anak.
Baca Juga : The Reckoners Trilogy : Calamity
She's all that adalah salah satu film yang saya tonton sampai berulang-ulang kali di tahun 1999, waktu itu zamannya VCD dan hampir setiap hari itu VCD bajakan diputer berulang-ulang. Maklum namanya juga remaja dan She's all that merupakan salah satu teen movie yang well made, dari segi cerita sampai dengan acting memang memorably banget. Still remembering nonton film She's all that pagi-pagi dan ngarep pergi ke sekolah sekeren di US sono, ketemu sama fasilitas dan berbagai ektrakurikuler keren kaya melukis etc but end up sekolah di sekolah negeri yang cuma sepetak dengan eskul terbatas, not mention itu sekolah udah kaya penjara aja. Berakhir dengan masa smu yang standar dan amat menjemukan.
Well back at She's all that, film remaja pioneer ini setelah 23 tahun akhirnya, mendapatkan sekuel or reboot dengan judul He's all that. Premis ugly ducking princess dirubah menjadi ugly ducking prince. Kalau dulu Rachel Leigh Cook yang dimake over sama Fredie Prinze Jr sekarang Tanner Buchanan yang dimake over di Addison Rae. Ceritanya pun dibuat sesuai sama abg zaman now dimana Addison Rae jadi seorang remaja influencer nan populer.
Sayangnya dalam segala hal He's all that ini ancur lebur, pemilihan Addison Rae pun dirasa tanpa otak. Aktingnya ancur sekali seperti sedang buat konten saja, kelihatan seperti mamah muda yang maksa banget jadi anak sma. Addison Rae emang nggak bakat acting! Akting romance ke Tanner bener-bener kosong, nggak ada chemistry sama sekali. Padahal pemeran yang lain nggak ada masalah, setelah saya cek hanya Addison Rae yang pure influencer dan bukan seorang aktris. Sepertinya pemilihan dia cuma karena, peran yang sama-sama influencer aja. Padahal He's all that ini bisa banyak ketolong kalau peran utamanya benar-benar bisa akting.
Baca |Juga : Review Ivan The Only Salah Satu Film Disney Terbaik
Udah getuh jalan ceritanya pun standar abis bak sineteron, kaya nggak ada usaha aja buat bikin cerita yang dalem dan rada komplek kaya She's all that. Memang banyak elemen yang diambil dari film pertamanya hanya sekadar untuk nostalgia, salah satunya adegan dance battle di prom night. Dancenya juga kaya nggak keren dan asal aja getuh, beda sama dance battle di film pertamanya. Terus adegan make over She's all that kan fenomenal banget, turun dari tangga pake lagu Kiss Me. Nah, kalau He's all that ampas banget, cuma keluar dari ruang ganti pake lagu dari Ariana Grande yang sama sekali nggak memorable. Sepanjang film saya cuma bisa batin aja, ini film apa sih? Sumpah kesel banget liat acting si Addison Rae.
Dua pemain She's all that balik di He's all that yakni, Rachel Leigh Cook sama Matthew Lilard, sayang Fredie Prinze Jr nggak mau balik sama perlu diingat Paul Walker juga main di film She's all that loh. Pretty shame film ini cuma sekadar dijadikan konten buat menuhin list di Netflix, padahal kalau mau digarap serius bisa bagus.
Hari ini saya melihat pemandangan tak biasa, waktu melipir malan malam di sebuah warung nasi dekat statiun Sudirman. Seorang wanita cantik berjilbab meminta izin pada pemilik warung untuk masuk dan menawarkan korek api seharga 3,000 ribu rupiah saja, itupun untuk tiga buah korek jadi masing-masing seharga 1000 rupiah. Paras rupawan dengan penampilan rapi, mungkin berusia sekitar 20 tahunan. Dengan jeli saya bisa melihat telapak kaki perempuan ini, tak semulus wajahnya pun sandal yang dipakai solnya sudah terlihat miring karena tergerus pemakaian. Sepertinya perempuan ini sering sekali berjalan kaki, sampai terlihat hitam dan tak terurus seperti wajahnya.
Dia menawarkan koreknya namun, saya dengan sopan menolak sebab saya tidak merokok. Beruntung tiga pengujung warung nasi lain yang semuanya lelaki, membeli korek perempuan cantik ini. Salah satu sempat bertanya, "bukannya saya pernah lihat kamu di Bandung yah?" lantas perempuan cantik penjual korek membalas, "iya sebulan sekali pindah, jualan di Bandung sama Jakarta biar nggak bosen."
Baca Juga : Kawin Mewah Minta Uang Buat Biaya Melahirkan Kemudian
I was like? Gila jualan korek harga satu seribu, udah getuh sebulan sekali pindah Jakarta-Bandung. Terus terang saya jadi malu dan kesal, malu sama diri sendiri yang suka ngeluh sama kerjaan dan kesal kalau ingat di rumah ada tiga ekor MOKONDO! Dua diantaranya bahkan udah kawin punya anak istri tapi, males bekerja sampai semua harus disupport sama orang tua.
Baca Juga : Kenapa Pemalas Pengen Punya Anak Perempuan
Duh pengen saya seret ketiga sampah benalu MOKONDO ke warung nasi itu, buat lihat. "Tuh perempuan aja berani cari duit Jakarta-Bandung jualan korek yang harganya cuma seribu." Jadi lelaki cuma becus kawin, giliran cari nafkah kek sampah! Kerjanya cuma berkembangbiak dan molor aja.