Pages
She's all that adalah salah satu film yang saya tonton sampai berulang-ulang kali di tahun 1999, waktu itu zamannya VCD dan hampir setiap hari itu VCD bajakan diputer berulang-ulang. Maklum namanya juga remaja dan She's all that merupakan salah satu teen movie yang well made, dari segi cerita sampai dengan acting memang memorably banget. Still remembering nonton film She's all that pagi-pagi dan ngarep pergi ke sekolah sekeren di US sono, ketemu sama fasilitas dan berbagai ektrakurikuler keren kaya melukis etc but end up sekolah di sekolah negeri yang cuma sepetak dengan eskul terbatas, not mention itu sekolah udah kaya penjara aja. Berakhir dengan masa smu yang standar dan amat menjemukan.
Well back at She's all that, film remaja pioneer ini setelah 23 tahun akhirnya, mendapatkan sekuel or reboot dengan judul He's all that. Premis ugly ducking princess dirubah menjadi ugly ducking prince. Kalau dulu Rachel Leigh Cook yang dimake over sama Fredie Prinze Jr sekarang Tanner Buchanan yang dimake over di Addison Rae. Ceritanya pun dibuat sesuai sama abg zaman now dimana Addison Rae jadi seorang remaja influencer nan populer.
Sayangnya dalam segala hal He's all that ini ancur lebur, pemilihan Addison Rae pun dirasa tanpa otak. Aktingnya ancur sekali seperti sedang buat konten saja, kelihatan seperti mamah muda yang maksa banget jadi anak sma. Addison Rae emang nggak bakat acting! Akting romance ke Tanner bener-bener kosong, nggak ada chemistry sama sekali. Padahal pemeran yang lain nggak ada masalah, setelah saya cek hanya Addison Rae yang pure influencer dan bukan seorang aktris. Sepertinya pemilihan dia cuma karena, peran yang sama-sama influencer aja. Padahal He's all that ini bisa banyak ketolong kalau peran utamanya benar-benar bisa akting.
Baca |Juga : Review Ivan The Only Salah Satu Film Disney Terbaik
Udah getuh jalan ceritanya pun standar abis bak sineteron, kaya nggak ada usaha aja buat bikin cerita yang dalem dan rada komplek kaya She's all that. Memang banyak elemen yang diambil dari film pertamanya hanya sekadar untuk nostalgia, salah satunya adegan dance battle di prom night. Dancenya juga kaya nggak keren dan asal aja getuh, beda sama dance battle di film pertamanya. Terus adegan make over She's all that kan fenomenal banget, turun dari tangga pake lagu Kiss Me. Nah, kalau He's all that ampas banget, cuma keluar dari ruang ganti pake lagu dari Ariana Grande yang sama sekali nggak memorable. Sepanjang film saya cuma bisa batin aja, ini film apa sih? Sumpah kesel banget liat acting si Addison Rae.
Dua pemain She's all that balik di He's all that yakni, Rachel Leigh Cook sama Matthew Lilard, sayang Fredie Prinze Jr nggak mau balik sama perlu diingat Paul Walker juga main di film She's all that loh. Pretty shame film ini cuma sekadar dijadikan konten buat menuhin list di Netflix, padahal kalau mau digarap serius bisa bagus.
Jadi saya baru aja nonton Pocong the Origin film keluaran tahun 2019, kebetulan film ini baru nongol di Netflix. Ehemmm, Pocong The Origin sukses bikin saya naik pitam! Film garapan sutradara yang filmnya hampir ampas semua yakni, Monty Tiwa bener-bener bikin saya kesel pengen nonjok semua yang muncul di film, bukan malah takut. mending kita langsung kulik aja film ampas nggak bermutu ini.
Tokoh utama Asti dari pertama udah nggak jelas banget, dia ini anak si pocong. Tapi, nggak jelas antara baik atau jahat, sebenernya mau kemana sih ini tokoh. Awal digambarin trauma sama masa kecil tapi, ujungnya sayang sama bapaknya yang jadi pocong, apasih yang nulis! Selain itu, tokoh yang diperankan Samuel Rizal juga ganggu banget, logat jawa maksa nggak pas sama wajah kota Samuel. Karakternya terkesan dipaksakan dan mengada-ngada! Mana ada adegan dia beser, padahal selama perjalanan nggak pernah minum.
Editingnya juga kacrut, terutama pas awal ricuh dalam lapas bapaknya Asti bangkit. Terus si Asti nembak bapaknya, abis itu pindag adegan aja ke Asti mau bawa pulang bapaknya? Lah bukannya abis nembak si Asti itu trauma sambil tiduran di samping bapaknya? Terus, tiba-tiba dia kek biasa aja mau anter bapaknya dimakamin, anying apaan sih ini?
Selain itu film Pocong The Origin ini juga, nggak jelas timingnya mau begaya tahun 90an tapi, setiangan di tahun 2019. Banyak ambil angle supaya kelihatan jadul bahkan, properti seperti mobil aja yang dipilih mobil jadul. Kalau mau pake otak tahun 2019 itu Lapas kirim jenazah terdakwa pake ambulan dan dimasukan ke dalam peti, goblok! Bukan pake mobil tahun 1970an terus pocongnya cuma digeletakin di belakang, tolol! Karakter pendukung seorang wartawan juga bawa mobil khas 90an yakni, Jimmny padahal kalau mau otaknya dipakai, kenapa perempuan wartawan seperti itu, nggak pake motor matik? Secara dia wartawan! Kalau mau maksa bawa mobil, bisa pake city car macem Kia Visto/Atoz
Ada adegan mobil jenazah tahun 1970an nggak masuk akal ini mogok, terus di dorong sama orang lewat. Ceritanya lagi dorong di jalan menanjak, sampai pocongnya jatoh ke luar. Tapi, pas diliatin jalannya datar aja? Terus bukannya itu pintu belakang mobil dikunci dari awal yah? Hadeuh..... sampah
Selain itu, premis utama si pocong adalah iblis banaspati bikin tambah kesel. Banaspati bukannya terkenal di jawa tengah dan jawa timur? Ngapain banaspati jadi ilmu rakyat pasundan? Sejak kapan banaspati jadi urban legend di jawa barat? Pengambaran masyarakat desa Cimacan dengan aksen sunda yang ngasal juga bikin hadeuh, apa sih film ini?
Seperti saya tulis di awal, Pocong The Origin ini bukan bikin takut malah bikin kesel! kalau udah ada nama Monty Tiwa udah dah skip aja, ini sutradara emang rada-rada yah. Heran kenapa ada aja yang mau sponsorin film dia.
Ada film anime yang dapet banyak award bahkan, sampai nembus box office judulnya Belle atau versi Jepangnya Ryū to Sobakasu no Hime (The Dragon and the Freckled Princess) pertama nonton di Netfllix langsung wow! Karena animasinya gak main-main, sumpah benar-benar bikin mata gak berkedip, rekomen buat nonton di TV 4K. Belle masuk ke dalam aesthetic animated setiap jengkal film ini benar-benar dibuat cantik.
Sayangnya, film besutan Mamoru Hosoda ini rada ampas di cerita walaupun premisnya kuat dimana mengabungkan Beauty and The Beast dengan The Matrix. Di mana dalam dunia virtual kita selalu menjadi versi terbaik dari kita sementara dalam dunia nyata sampah. Plot cerita Belle ini rada absurb banget, antara Suzu dengan masa lalu yang kelam, lalu naksir sama cowok paling ganteng satu sekolah dan menyelamatkan The Dragon di dunia metaverse dan dunia asli. Sampai bingung ini film Belle mau kemana sih? Si Suzu ini mau ngapain? Durasi dua jam benar-benar gak jelas fokus cerita film anime Belle ini.
Ceritanya kepepet antara Suzu yang berubah jadi percaya diri dan memaafkan masa lalunya sama menyelamatkan The Dragon tapi, berkesan maksa banget terlebih cerita Suzu dekat sama The Dragon bikin bingung karena, di dunia nyata Suzu malah suka sama Shinobu. Terlalu banyak sub plot untuk tokoh utama Suzu dan gak fokus adalah kelemahan fatal film anime Belle.
Baca Juga : Review Ivan The One and Only
Sayang sekali masterpiece anime seperti Belle ini harus mentok di cerita, padahal dari segi visual dan musik udah sempurna ketika diputar di festival canners, Belle berhasil mendapatkan standing ovation. Coba nonton di bioskop udah pegel ini badan, dua jam dikasih cerita absurb dan ini mungkin saja, penyebab utama kenapa Belle gagal masuk ke dalam nominasi best animated feature Oscar 2022 padahal Mamoru Hosoda sempat masuk Oscar tahun 2018 dengan Mirai, anime dengan animasi yang lebih sederhana namun, plot cerita lebih masuk akal.
Gak sengaja nemu film di Disney+ yang judulnya The One and Only Ivan, sepintas film ini tentang gorilla terlihat biasa saja, apalagi dengan label Disney pasti filmnya ramah untuk keluarga dan bakal simple. Ternyata The One and Only Ivan bercerita lebih dari sekadar film keluarga, The One and Only Ivan berhasil membawa dark theme atau tema yang sulit ke dalam sebuah film keluarga. Tanpa harus mempertontonkan kekerasan.
The One and Only Ivan sebenarnya diadaptasi dari novel dengan judul yang sama dan novel The One and Only Ivan, terinspirasi dari kisah Ivan the gorilla di tahun 90'an. Hanya saja dalam plot ceritanya mengambil sudut pandang dari para binatang, ini sebabnya The One and Only Ivan masuk kategori film fantasi karena semua tokoh utama yakni para binatang yang berbicara sepanjang film.
Premis The One and Only Ivan sendiri gak ada yang special, bercerita tentang Ivan seekor gorilla yang terjebak di dalam mal sebagai atraksi sirkus bersama hewan-hewan lainnya selama 27 tahun. Ia berjanji pada seekor gajah tua bernama Stella untuk bisa, memberikan hidup yang penuh kebebasan pada penghuni baru sirkus yakni, seekor anak gajah bernama Ruby.
Yang membuat saya suka dengan The One and Only Ivan adalah cara penuturan temanya, manusia adalah mahluk yang jahat tapi, tidak semua manusia itu jahat. The One and Only Ivan membawa tema yang berat namun, tidak menggambarkan manusia sebagai antagonis. Perasaan kesepian dan ketidaktahuan para binatang pun, berhasil digambarkan dalam film ini.
Kehebatan The One and Only Ivan adalah, membawa tema berat ke dalam sebuah film keluarga tanpa harus judging. Penonton bakal bersimpati penuh pada Ivan dan Ruby tapi, gak perlu marah sama manusia yang sudah membawa mereka ke dalam mal. Kita bisa dibuat merasa bersalah tanpa dihakimi lewat film The One and Only Ivan. Film berdurasi 1:30 menit ini, mempunyai pacing yang lamban tapi, sama sekali gak terasa lamban, apalagi membosankan. Semua voice castnya pas, dari Ivan, Ruby sampai Henrietta bahkan, CGI untuk The One and Only Ivan berhasil dapat nominasi oscar tahun ini untuk best visual effect.
The One and Only Ivan adalah, salah satu film Disney terbaik di tahun ini, film ini jadi salah satu film tentang hewan paling bagus setelah Babe yang tahun 1995 berhasil menyabet 7 nominasi oscar. The One and Only Ivan punya vibe yang sama dengan film Babe. Ini salah satu film yang rekomen banget buat ditonton di Disney+
Review : White Squall Film Tentang Tenggelamnya Kapal Albartoss
The Turning adalah film horor yang berdasarkan novella tahun 1898 The Turn of the Screw karya Henry James. Sepintar The Turning ini seperti film horor biasa, hampir keseluruhan film berkisah tentang hantu dan bagaimana tokoh utama Kate berusaha memecahan misteri di mansion fairchild namun, The Turning ini memberikan sebuah ending yang tidak terduga dan menyelamatkannya dari sebuah film horor mediocore yang bermodalkan jump scare scene. Imbasnya, kita bakal bingung dengan film The Turning ini, apakah sebenarnya yang terjadi?
Ending The Turning
Dalam ending pertama kita bakal disuguhi cerita dimana kate berhasil membawa Flora dan Miles keluar dari mansion lalu, adegan rewind ketika Kate menerima lukisan dari Ibunya dan memaksa Flora dan Miles untuk mengakui bahwa, mereka juga melihat hantu lalu Kate mengalami mental breakdown. Kemudian adegan berubah ke kolam renang dalam rumah sakit jiwa dimana, ibu Kate dirawat. Saat Kate mendekati dan melihat wajah ibunya, ia berteriak lalu end credit.
Penjelasan ending.
Jadi buat apa ada dua ending seperti itu? Floria Sigismondi sang sutradara berusaha menciptakan efek ambigu dalam filmnya, kalau mau jujur The Turning sendiri memang gak begitu bagus dari plot bukan. Lantas mana ending yang benar? Ending yang benar adalah Kate yang mengalami mental breakdown setelah memaksa Flora dan Miles untuk mengakui bahwa, mereka melihat hantu juga. Dan adegan Kate berteriak saat melihat wajah ibunya sebenarnya, ia melihat wajah dirinya sendiri. Dengan kata lain, Kate mewarisi penyakit mental dari ibunya.
Kalau kalian jeli, dari awal sudah dijelaskan ending mana yang asli. Lihat saja dari judulnya, The Turning aka berubah! Apa yang berubah? Kate yang tadinya waras berubah jadi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) The Turning sepanjang film sebenarnya, menceritakan ketakutan Kate untuk jadi gila seperti ibunya.
Hint di film
Jadi sebenarnya gak ada hantu? Memang dari awal gak ada hantu dan semua yang diceritakan Mrs Grose adalah benar.
1. Quint memang orang brengsek yang memperkosa dan membunuh Miss Jessel tapi, Quint juga sudah mati jatuh dari kuda karena mabok, Mrs Grose sendiri pernah cerita kalau dia yang memastikan Quint benar-benar mati.
2. Miles memang anak kurang ajar karena, bergaul dengan Quint, ini yang menyebabkan sikap Miles seperti dajal karena sering diajak mabok-mabok ke pub.
3. Flora gak mau keluar gerbang dan bilang akan mati kalau keluar gerbang. Mrs Grose pernah bilang, kedua orang tua Flora mati kecelakaan di luar gerbang mansion dan saat itu Flora melihat langsung. Jadi Flora ini trauma, setiap kali diajak keluar dari gerbang mansion.
4. Cerita seram mansion fairchild ditambah prank menakutkan Miles adalah, pemicu utama penyakit mental Kate timbul. Rasa was-was ditambah ketakutan mendalam akan hantu Quint, membuat Kate berhalusinasi.
5. Saat memberikan paket berisi lukisan dari ibu Kate, Mrs Grose sudah mengatakan bahwa, semoga saja penyakit jiwa ibu Kate bukan genetik.
Satu lagi film
coming age yang bagus banget dan seperti biasanya ini adalah film jadul,
keluaran tahun 1995. Film ini dulu terkenal banget di Indonesia tapi, saya gak
sempet lihat dan baru sekarang, punya kesempatan buat nonton White Squall. Film
ini pun, gak bisa dianggap sebelah mata karena yang bikinnya Ridley Scott
sutradara legend yang pernah bikin Blade Runner sama Alien. White Squall sendiri
adaptasi dari kisah nyata tragedi yang menimpa kapal Albatross di gulf of
mexico pada tahun 1961.
White Squall mengambil sudut pandang dari salah satu survivor bernama Chuck Gieg, pemuda tanggung berumur 17 tahun yang memutuskan break dan mengambil pengalaman ikuta jadi crew kapal Albatross. Kapal Albatross sendiri merupakan, sekolah terapung dimana semua siswanya bekerja jadi crew sambil belajar keliling dunia. Semacam camp musim panas di atas kapal dan selain Chuck Gieg ada 13 siswa lainnya.
Film berdurasi 2
jam ini sama sekali gak bikin ngantuk sebab, 13 siswa benar-benar eye candy banget
dari Scott Wolf sampai Ryan Philippe waktu masih muda ada di sini. White Squall
pun gak cuma tentang survivor di laut saja, karena film ini justru bergulat
pada masalah masing-masing siswa. Semua siswa yang datang ternyata punya
masalah hidup sendiri dan mereka, bakal belajar menghadapi itu sepanjang
perjalanan. Ada yang gak tahu mau jadi apa? Lalu ada yang stress karena
dikontrol sama bokapnya, terus ada yang trauma karena keluarga berantem terus.
White Squall pun memanjakan mata loh, cinematography Ridley Scott memang jempolan setiap angle dari film ini apik banget. Kita bakalan disuguhi pemadangan sunset dari berbagai belahan dunia. Sekalipun White Squall punya cerita yang mengalir tapi, sayangnya ketika adegan Albatross tenggelam justru gak terlalu kuat. Adegan Albatross tenggelam gak terlalu epic dan kurang di eksplore, termasuk ketika lima penumpangnya ikut tenggelam. Adegan pamungkas ketika sang kapten di siding pun gak terlalu kuat, kelihatan banget kalau White Squall ini keseret sama durasi yang sudah 2 jam sehingga adegan sidang seperti dipangkas. Selain itu scoring untuk film seperti ini pun, gak terlalu kuat padahal film dengan cinematography kuat harusnya didukung scoring yang kuat pula.
Baca Juga : Review The Flamingo Kid Film Coming Age Cerdas
Kasus tenggelamnya
kapal Albatross ini sendiri, sempat heboh banget di tahun 1961. Dan pada tahun
1995 novelnya yang ditulis oleh survivor Chuck Gieg. Setelah diriset memang ada
banyak perbedaan dengan kisah aslinya, seperti para survivor termasuk Chuck
Gieg sebenar gak pernah lagi saling bicara setelah kejadian. Dan fakta kalau
kapal Albatross tenggelam dihantam White Squall (ombak badai) pun masih menjadi
perdebatan.
Tapi, overall White Squall adalah flm yang enak banget buat ditonton, cinematic experiences lewat beragam laut, pantai dan pulaunya dapet banget, beragam beauty scene paling enak ditonton HD bluray, plot yang ringan mengalir bikin durasi dua jam gak kerasa. Kalau mau nonton White Squall ini ada kok di Netflix dan rekomen bagi yang cari film coming age.
Baca Juga : Review King Of Summer Film Coming Age Terbaik
Baca juga : Review The One and Only Ivan Film Disney Terbaik
Rick Marcellus (1944-1961) siswa termuda salah satu dari lima korban tenggelamnya kapal Albatross |
Ada sebuah film dari Prime Video Amazon.com yang menarik perhatian saya karena sekilas premisnya mirip sekali dengan film dari webtoon yakni Terlalu Tampan. Film berjudul Look That Kill ini menceritakan derita seorang remaja bernama Max yang mampu membunuh semua orang dengan wajah tampannya. Sehingga seumur hidupnya Max, harus menutup wajah dengan kain kasa. Dari sini saja sudah jelas terlihat premis yang mirip banget sama Terlalu Tampan, hanya saja Terlalu Tampan cuma bikin pingsan atau mimisan sementara Look That Kill terlalu sadis sampai semua orang yang meliat wajah rupawan Brandon Flynn langsung menemui ajalnya.
Film yang dilabeli dark comedy ini lebih cocok disebut sebagai drama fantasi karena, saya nggak bisa lihat dimana jokenya? Bumbu drama coming age antara Max dan Alex jauh lebih kental. Buat pengemar All The Fault In Our Star mungkin bakal suka dengan Look That Kill sebab, plot ceritanya sama banget bahkan selama 01:30 saya nggak bisa melihat beda film ini dengan All The Fault In Our Star.
Dengan pacing yang super lamban ditambah setingan di kota kecil, Look That Kill terasa seperti film berdurasi 2 jam lebih namun, beruntung plot ceritanya mengalir sekalipun nggak ada penjelasan kenapa muka si Max bisa membunuh semua orang, padahal Brandon Flynn mukanya biasa saja, kalau yang dicast seorang model mungkin masih bisa masuk akal. Sama sekali nggak ada penjelasan dari film Look That Kill tentang apa yang terjadi, termasuk pada saat dimana Alex nggak mati saat melihat wajah Max?
Look That Kill justru bergulat pada keadaan kedua tokoh sentral Max dan Alex, dimana kedua sulit untuk menerima kondisi mereka. Max depresi karena nggak bisa punya teman dan harus perban wajahnya seumur hidup sementara Alex merasa selama hidup dirinya hanya beban saja karena, ia sakit-sakitan dan divonis berumur pendek. Pada akhirnya keduanya saling belajar dari keadaan masing-masing.
Baca Juga : Review Film White Squall Coming Age Berdasarkan Tragedi Kapal Albatross
Alex nggak lagi merasa sebagai beban dan siap menerima kematiannya, sementara Max menerima keadaan dan memanfaatkan wajah tampan nan mautnya untuk menolong orang-orang yang sedang menderita sakit parah, mendapatkan kematian yang tenang. Ia juga menjadi pribadi yang lebih optimis nggak lagi depresi.
Look That Kill punya premis yang bagus namun, sayang cerita terlalu standar dan saya merasa film ini seperti kurang sesuatu, kisah Max dan Alex masih kurang greget serasa banyak yang dicut pada saat editing. Padahal pacing lamban tapi, kerasa durasinya seperti diburu-buru banget. Beruntung acting Brandon Flynn dan Julia Goldani Telles dapet banget, jadi walaupun banyak hal yang nggak kita ngerti tetep bakal enjoy aja sampai akhir. Ujungnya bakalan fokus sama inti cerita mengenai, pergulatan batin Max dan Alex, dari pada kenapa itu muka standar bule bisa membunuh siapapun yang melihat?
Sudah nonton film Vivarium? Kalau sudah pasti ada banyak pertanyaan mengenai film fiction twisted ini. Film Vivarium sendiri merupakan sebuah science fiction psikologi horor, kurang lebih sama dengan The X-files bahkan bisa dijadikan sebagai salah satu episodenya. Film ini buka oleh pasangan Tom dan Gemma yang sedang mencari rumah, lalu menemui sebuah agen pengembang yang rada aneh, singkat cerita dibawalah mereka berdua menuju komplek perumahan yang semua rumahnya sama berwana hijau, lalu mereka pun ditinggalkan di sana. Pasangan ini terjebak dalam labirin perumahan dan nggak bisa lolos sampai akhirnya mereka diberikan petunjuk dalam kardus, untuk membesarkan seorang anak dan setelahnya akan dibebaskan.
Lalu dimulailah perjuangan Tom dan Gemma untuk keluar dari labirin perumahan dan mengetahui siapa dan apa anak yang mereka besarkan ini. Keduanya punya cara yang berbeda dalam menghadapi hal ini, Tom depresi dan larut dalam kegilaannya sendiri sementara Gemma mencoba lebih realistis. Vivarium lebih mengulas efek psikologi terhadap Tom dan Gemma yang desperate untuk bisa keluar, ketimbang misteri apa yang sedang menjebak mereka.
Apa Itu Vivarium?
Komplek perumahan yang semua rumahnya hijau dan bak labirin ini adalah umpang bagi manusia, dimana akhirnya Tom dan Gemma nggak bisa keluar. Jadi Vivarium ada sebuah kandang yang dirancang khusus untuk menjebak dan mengamati mahluk penghuninya. Dalam film ini Vivarium bukan sekadar kandang biasa namun, bisa melibas realitas dan menghentikan waktu.
Siapa The Boy?
The boy atau anak yang harus
dibesarkan oleh Tom dan Gemma ini siapa? The boy adalah seekor anak dari mahluk
hidup yang sudah lama berada di bumi dan hidup berbarengan dengan manusia, the
boy membutuhan bantuan manusia untuk belajar banyak hal, agar bisa bertahan
hidup bersama manusia namun, the boy ketika besar harus keluar rumah untuk
bertemu dengan jenisnya, demi mempelajari keterampilan hidup jenisnya.
Kalau kalian penasaran seperti
apa bentuk asli dari mahluk the boy, coba perhatikan buku merah yang selalu
dibawa the boy. Saat Gemma membukanya, ada gambar fisiologis dari mahluk the
boy. Dasarnya mereka berbentuk seperti manusia namun, dengan leher bisa mengembang
dan dalam keadaan terdesak atau melarikan diri, mereka berlari dengan empat
kaki.
Mahluk the boy tidak bisa mengenali emosi manusia, mampu meniru suara manusia dan berkomunikasi dengan suara seperti katak. Ingat suara katak yang didengar Tom saat menggali? Itu adalah panggilan untuk the boy dari kaumnya.
Karena bisa menciptakan jebakan realitas kemungkinan besar mahluk the boy adalah alien.
Buku dan Film yang di
Tonton The Boy
Gemma dan Tom memang membesarkan
the boy namun, mereka hanya bisa memberikan keterampilan dasar untuk bertahan
hidup diantara manusia. Maka dari itu jenis the boy, memberi pelajaran lewat
tayangan TV yang sekilas terlihat seperti alat hipnotis dan buku merah yang
selalu dibawa adalah buku pelajaran
mahluk the boy.
Makanan yang dimakan Gemma dan
Tom adalah plastik makanya nggak ada rasa sementara, mereka sudah berada dalam
Vivarium selama berminggu-minggu. Lambat laun kesehatan mereka berdua semakin
menurun.
Tom mati karena selama
berhari-hari menggali lumpur tanah liat berwarna kuning bahkan, sampai tidur di
dalam galian tersebut, akibatnya racun dari lumpur tanah liat terhirup . Saat dimandikan
Gemma terlihat lebam di punggung. Tahukah, kalian bahwa Tom sebenar berkelahi
dengan the boy makanya dia mengurung diri di kamar dan nggak keluar karena
nggak berani ketemu.
Sementara Gemma mati karena
kelelahan dan kelaparan, ingat the boy mengunci rumah dan tidak memberi makan
Gemma selama dua atau tiga hari. Semua kekuatan terakhir Gemma digunakan untuk
membunuh the boy.
The boy tumbuh dengan cepat saat, keduanya akhirnya sepakat untuk membunuhnya sudah terlambat karena, the boy sudah besar dan kuat. Makanya Gemma menyesali keputusan menyelamatkan the boy saat Tom hendak membunuhnya ketika kecil.
Ending Scene Gemma
Dalam ending scene ketika Gemma
berusaha mengejar dan membunuh the boy, ia jatuh ke Vivarium lain dimana ada
manusia lain yang terjebak dan dipaksa untuk membesarkan mahluk the boy. Setiap
Vivarium punya warna tersendiri karena, warna itu menjelaskan keadaan psikologi
manusia yang terjebak di dalamnya.
Lalu Gemma kembali ke dalam Vivariumnya? Karena memang nggak ada niatan untuk membebaskan manusia yang sudah masuk ke dalam Vivarium. Yang dimaksud dengan release adalah kematian, jadi andai Gemma dan Tom membesarkan the boy dengan baik, mereka berduapun akan mati ketika the boy sudah besar.
Apa yang sebenarnya
terjadi? Berdasarkan Sutradara Lorcan Finnegan
Kalau kalian jeli, sebenarnya
film Vivarium ini sudah menjelaskan semuanya saat di awal. Ingat opening scene
burung jenis brood yakni, jenis burung yang ogah membesarkan anaknya sendiri
dan akan memilih untuk menaruh telurnya di sarang burung lain dan membiarkan
burung pemilik sarang untuk membesarkan anaknya. Vivarium mengambil prinsip
yang sama, mahluk the boy sudah lama berada bersama manusia dan cara mereka
bertahan hidup adalah, dengan mengambil manusia menjadi parasit orang tua.
Selain itu Vivarium pun, mencoba
menjelaskan realitas impian manusia untuk membeli rumah dan menciptakan pasar
real estate. Akibatnya banyak real estate yang membuat rumah dan menjualnya
dengan harga mahal namun, nggak ada yang sanggup membeli.
Baca Juga : Review Dan Penjelasan Film Annihilation
Baca Juga : Review dan Penjelasan Hereditary Serta Iblis Paimon
Nggak sengaja nemu sebuah film yang terlihat sangat menjanjikan seru, mulai dari distributornya IFC Midnight Film sampai trailernya yang apik banget, kelihatan nggak cheesy. Lebih awesome lagi film Sputnik bukan dari negeri paman sam tapi, dari negeri Vladimir Putin. Sekilas film Sputnik terlihat seperti film Jake Gyllenhaal, berjudul Live tahun 2017 silam. Namun ternyata Sputnik lebih dari sekadar film science fiction standar Hollywood namun, kedodoran di storyline.
Premisnya memang nggak asing, dimana ada kosmonot yang kembali ke bumi namun, dihinggapi oleh parasite alien. Jadi keseluruhan cerita film Sputnik ini Cuma mengulas, bagaimana bisa? Hubungan Antara si kosmonot dan si alien, ditambah bumbu humanisme dimana dokter dan ilmuwan yang diperintahkan militer untuk menyelidiki akhirnya jatuh simpati pada nasib si kosmonot.
Lima belas menit pertama nonton
saya takjub banget, karena cinematografi sama art designya kece abis.
Benar-benar dapet banget buat menggambarkan nuansa hopeless, lonely dan kelam
ala-ala uni soviet tahun 1950an. Semua aktornya punya ekspresi datar,
sepertinya semua orang di Rusia tahun 50an seperti itu yah? Belum lagi saya
nggak terbiasa sama bahasa rusia yang benar-benar datar tanpa intonasi atau
penekanan. Jadi awal-awal film Sputnik ini kerasa hampa tapi, bikin heran
ujungnya bakal penasaran banget.
Sayangnya, setelah satu jam film
Sputnik ini justru anjlok storylinenya. Kita awalnya dikasih pengharapan kalau
film ini bakal punya plot twist atau ending tak terduga, malah berubah jadi
klise banget. Capek-capek build intens triller ujungnya kek film-film science
fiction biasa.
Misteri demi misteri yang terkuak
Cuma berujung sama sebuah ending yang sudah ada di ribuan film lainnya. Kolonel Semiradov yang dari awal bilang mau
bantu misahin parasite alien dari si kosmonot ternyata, punya niat buat
menjadikan kosmonot dan parasite alinenya
sebagai senjata adalah sebuah cerita yang super amat klise! Saya nggak ngerti,
kenapa udah build cerita yang wah tapi, ujungnya meh?
Endingnya mereka sadar kalau, si
kosmonot dan si alien sudah menjadi simbiosis mutualisme dan nggak bisa
dipisahin. Adegan si dokter dan si kosmonot melarikan diri dari pangkalan
militer juga, bikin geleng-geleng kepala. Soalnya tergolong gampang banget dan
saya pikir si kosmonot juga bisa aja keluar sendiri dari dulu, cemana ini film?
Beruntung dosa film Sputnik ini cuma di storyline dengan ending yang jeblok, selebihnya bagus banget. Jarang ada film eropa apa lagi rusia yang punya kualitas seperti Sputnik.
Baca Juga : Brightburn Horor Yang Mengecewakan
Baca Juga : Review Safety Not Guaranteed Film science fiction-romantic comedy
Mahluk-mahluk ini mau naik gunung apa ke luar negeri sih? |
Baca Juga : The Flaminggo Kid Film Coming Age Cerdas 1984
Media aja nggak tahu kalau lambang itu singkatan dari Brandon Breyers |