Pages
Karena WFH mau gak mau saya jadi tahu tentang kehidupan perempuan-perempuan atau emak-emak belakang komplek ini. Mostly orang-orang belakang komplek kawin dengan perempuan yang gak kerja atau ibu rumah tangga, jadi mereka ini 24 jam berada di rumah dan selama hampir dua tahun ini, saya jadi tahu perempuan-perempuan belakang komplek perumahan itu keseharian seperti apa?
Kalau perempuan yang tinggal
komplek perumahan semuanya bekerja, jadi setiap pagi mereka sibuk oder ojol
buat pergi ke statiun atau berangkat dengan suami mereka, ada juga yang bawa
kendaraan sendiri tapi, jarang. Sementara, perempuan belakang komplek sedari
pagi, nongkrong di warung buat ngobrol ngalor-ngidul sambil nunggu tukang bubur
dan tukang sayur. Congor mereka udah ke
toa masjid yang bisa kedengaran sampai berpuluh-puluh kilometer.
Tadinya, saya kira perempuan
belakang komplek ini lebih baik karena, mendedikasikan hidupnya di rumah
ternyata tidak sama sekali, malah perempuan yang tinggal di komplek dan pergi
bekerja jauh lebih baik. Kok bisa saya bilang begitu? Sebab, saat pandemic ini
anak-anak mereka gak sekolah, bukannya belajar di rumah, anak-anak ini malahan
kelayaban seperti ayam liar dan emak mereka, baru sibuk panggil-panggil pas
udah jam 5 sore, cari ke komplek buat nyuruh anaknya pulang.
Jadi perempuan dan emak-emak
belakang komplek ini, pagi sekitar jam 8-10 sibuk nongkrong di luar, beli
bubur, ngobrol dan beli sayur di tukang sayur. Setelahnya masuk rumah terus jam
12 siang sampai sore, ngobrol gak jelas lagi sama tetangga mereka sementara
anak-anak mereka, diliarkan! Padahal, WFH harusnya belajar di rumah, banyak
dari anak-anak ini malah mojok dan mabar, udah begitu main jauh sampai ke komplek.
Sorenya, emak dan perempuan belakang kampung ini, sibuk cari anak-anak mereka
sampai ke komplek.
Terus saya bingung? Dengan waktu
sebanyak itu, masa anak-anaknya gak diajarin apa gituh di rumah? Perempuan dan
emak-emak belakang komplek ini malah sibuk sendiri dengan kegiatan gak jelas
mereka. Kegiatan mereka kek sampah banget! Mendidik anak juga kaga, malah
ngalor-ngidul gajebo saban hari. Udah heboh banget kalau ada yang bunting,
malahan prestasi mereka itu bunting aja saban tahun tapi, anehnya pas anaknya
udah gede, ngurusnya kek ayam, cuma dikasih makan terus diliarkan gak jelas.
Seperti masa pandemic ini, apa susahnya belajar bareng di rumah? Gak punya
internet kan masih ada LKS sama buku pelajaran, setiap pagi bisa kali satu atau
dua jam belajar bareng. Atau dengan waktu sebanyak itu, bisa home industry
bikin olshop jualan apa getuh. Tapi, ternyata perempuan dan emak-emak belakang
komplek ini, gak ada kegiatan sama sekali cuma, ngalor-ngidul ngobrol nggak
jelas.
Kalau misalkan ditanya kenapa
anak-anaknya gak belajar di rumah, jawabnya kek dajal. Bilang gak ada laptop sama
internet. Lah, itu saya lihat anak-anaknya pada mojok mabar? Berarti ada pulsa
kan? Terus mereka pake hape yang bisa main pabji sama mobile legend masa dipake
belajar online gak bisa? Kemahalan beli laptop? Tapi, kalau kawinan atau
sunatan kok bisa dangdutan tiga hari dua malam? Belajar di rumah lagian, gak
melulu harus pake teknologi, itu buku pelajaran masih bisa dipake.
Udah dah, males urusan sama
orang-orang ini. Lagi pula saya juga salah, gak mikir jauh sebab, umumnya
perempuan-perempuan dan emak-emak belakang komplek ini cuma lulusan SMA jadi
pola pikirnya juga mentok aja di situ. Jadi jangan heran kalau hidup mereka itu
kek lingkaran setan aja, gak maju-maju cuma muter di situ.
No comments:
Post a Comment