Facebook Me

download untuk Gramedia digital best romance novel

Minta Bayar Biaya Melahirkan ke Orang Tua? Malu Donk!

Sebenarnya punya anak berapa pun juga itu adalah urusan pribadi, setiap orang punya keputusan sendiri. Ada mementingkan kualitas banyak juga yang lebih memikirkan kuantitas. Saya melihat sebuah fenomena unik di lingkungan saya, dimana punya anak tapi otak nggak dipake. Kok bisa? Seperti ini kasusnya, ada beberapa anggota keluarga yang bunting dan melahirkan. Terus yang bikin saya heran, mereka ini datang ke Papih untuk minta uang untuk biaya persalinan, terus salahnya dimana?



Tapi Nikah Mehong?

Pertama mahluk-mahluk primitif ini, dulunya kawin mehong dan biaya dari siapa? Bisa kawin mehong tapi nggak bisa mikir kalau nanti melahirkan harus keluar duit banyak, aneh bukan? Saya sudah kerap bilang dari pada gengsi dan pakai alasan nggak enak sama orang tua dan masih banyak hal, padahal memang pengen kawin mehong dan prestise saja. Dasar mindset dubur!


Bukan Anak Pertama
Saya masih bisa toleran kalau untuk anak pertama, anggap saja keluarga baru yang ekonominya belum stabil. Tapi, kalau sudah anak kedua dan ketiga bahkan seterusnya kerap minta uang untuk melahirkan ke Papih pastinya, rada-rada gimana getuh. Memang apa yang dipikirkan mahluk-mahluk primitif ini? Tentunya selain enak wikwik sampai jadi anak. Nggak malu tuh, semua anaknya minta biaya melahirkan ke orang tua? Lain padang lain belalang pula, memang lingkungan rendahan seperti itu. Bisanya wikwik begitu dihajar realitas, bukan usaha malah lari ke orang tua.  

Mikir Nggak Sih?
Dari anak pertama saja, pastinya sudah tahukan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk persalinan. Terus kenapa otaknya nggak jalan, pas mau bikin anak kedua dan seterusnya? Harusnya otaknya dipakai bukan cuma penisnya saja. Nanti biaya melahirkan dapat dari mana? Apa saya punya tabungan atau memanfaatkan BPJS serta asuransi lainnya.

Kenapa Saya Sewot?
Yang bunting siapa tapi yang sewot saya, terus ada juga yang bilang “kan itu bakal jadi ponakan.” Bitch! Kalau si Papih milyuner bisa hambur-hambur duit sih, ngapain juga sewot. Lah ini, pensiunan yang saban bulan ambil uang pensiun di Taspen, masih mau dibebanin sama biaya persalinan? Dan si Papih sudah bayar enam kali!! Empat cucu dari anak pertama dan  dua cucu dari anak terakhir. Mikir nggak sih itu duit bertahun-tahun kerja yang harusnya mungkin bisa dipakai untuk naik haji, malah dialokasikan buat lahiran cucu.  Hitung saja sendiri, kalau sekali lahiran keluar 5 juta berarti sudah 30 juta melayang cuma demi brojol cucu dari orang tua pemalas.

Kultur Sampah
Ada banyak hal yang bikin manusia-manusia sampah ini bisanya cuma wikwik tanpa usaha. Kalau yang saya lihat dari lingkungan adalah faktor kultur, tahu dong kalau kaum kodrun nggak boleh pakai KB, jadinya nggak bisa merencanakan keluarga dan mikirnya kalau duit si Papih itu rezeki si anak yang sudah dijamin sama yang di atas. Padahal Papih juga punya kepentingan lain yang belum terwujud seperti naik haji, tapi anaknya kejebak mindset dari kultur sampah. Sehingga duit pensiun terus saja tergerus habis untuk biaya kawinan dan melahirkan.

Sekarang tuh banyak banget milenial yag seperti ini, kawin mehong tapi setelahnya nggak tahu harus ngapain, nggak bisa modal dari nol harus selalu dibiayain sama orang tua. Sama halnya seperti manusia sampah di lingkungan saya, sudah nikahan mehong dari Mamih dan Papih, lahiran juga dari Mamih dan Papih bisanya cuma shared aja ke sosmed, foto-foto lucu anak.   

Related Post

No comments:

Post a Comment

Blog Archive

VIVA ID

Popular Artikel

Total Pageviews

Ini Baru Loh

Dari mana Energi Negatif di Rumah Kamu Berasal?

  Disclaimer Kali ini saya mau bikin rangkaian artikel tentang energi negatif di rumah sebab, punya pengalaman tentang hal ini dan ini ada...

Powered by Blogger.

.

.

Search This Blog

Protected by Copyscape Online Plagiarism Scanner

Subscribe Us

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

About

Newsletter

If you like articles on this blog, please subscribe for free via email.

Subscribe Us

Facebook