Pages
Beberapa tahun lalau saya pernah menulis tentang kota hujan Bogor yang menjadi semakin panas! Belakangan panasnya kota Bogor semakin nggak ketolongan bahkan, di dalam kamar saja sudah serasa seperti di Jakarta. Pemandangan rumah di Bogor yang menggunakan air conditioner semakin lumrah, padahal dahulu kota Bogor adalah kota yang sejuk dan dingin namun, sekarang malah sebelas dua belas dengan Jakarta dan Bekasi. Sekalipun intensitas hujan nggak menurun tetap saja nggak menolong untuk membuat suhu kota Bogor kembali adem, kok bisa? Setelah riset saya berhasil menemukan penjelasan ilmiah yang pernah dibuat di salah satu media online besar dan anehnya sama sekali nggak viral? Tahu sendirikan orang sini seperti apa? Lebih baik saya rangkum saja penjelasan dari Pikiran Rakyat ini, supaya orang-orang mengerti sudah separah apa kerusakan kota Bogor ini.
Urban Heat Island
Menurut Guru Besar Bidang Geofisika dan Meteorologi IPB, Hidayat Pawitan. Pesatnya pembangunan dan konsumsi energi di wilayah perkotaan semacam Bogor dengan penduduk mencapai 6 juta juga dinilai Hidayat menyumbang kenaikan suhu di wilayah Bogor. Tahukan sekarang Bogor menjadi kota tujuan wisata weekend orang Jakarta, kalau tanggal merah dan tanggal gajian yassalam macetnya. Belum lagi sekarang di pinggir jalan sudah penuh dengan beragam tempat usaha kekinian, sepeti hotel dan restauran. Beragam komplek perumahan bahkan, sekarang sampai mau ada apartemen, untuk tempat tinggal masyarakat Jakarta tersedia loh.
Lebih jelasnya Hidayat mengatakan, ”Bogor jadi tidak lagi adem bukan karena curah hujan yang berkurang, melainkan fenomena urban heat island yang biasa terjadi di daerah urban. Fenomena ini, kata Hidayat, menciptakan kubah panas di wilayah tersebut dengan beda suhu yang bisa mencapai 5 derajat Celsius lebih panas dibandingkan kondisi wilayah di perdesaan. ”Bogor, terutama Kota Bogor masih tertolong oleh adanya Kebun Raya Bogor,” katanya. Urban heat island juga meningkatkan kelembapan di suatu wilayah sehingga suhu yang dirasakan jauh lebih panas.
Trend Ridwan Kamil
Pembangunan ekonomi yang nggak jelas membuat membuat Bogor semakin semerawut, padahal kota Bogor sama sekali nggak dirancang untuk menjadi metropolitan, sejatinya Bogor hanya berfungsi sebagai city living bukan pusat perekonomian semacam Depok dan Bekasi.
Pembangunan ekonomi yang nggak jelas membuat membuat Bogor semakin semerawut, padahal kota Bogor sama sekali nggak dirancang untuk menjadi metropolitan, sejatinya Bogor hanya berfungsi sebagai city living bukan pusat perekonomian semacam Depok dan Bekasi.
Bukan cuma salah asuhan pembangunan ekonomi, salah asuhan pembangunan pun terjadi karena, Bogor mengikuti trend Kang Emil. Pembangunan sarana atau ikon kota yang mentereng namun, nggak ada manfaatnya bagi alam pun membuat Bogor semakin penuh dan nggak jelas. Ingat berapa banyak tanah serapan yang sekarang disemen demi ikon kota, padahal jelas-jelas Bandung dan Bogor dua kota yang berbeda. Ridwan Kamil itu seorang arsitek yang tahu bagaimana membangun tanpa mengorbankan lingkungan sekitar sementara, Walikota Bogor cuma seorang politikus lulusan hubungan international yang gemar copas kerjaan Ridwan Kamil.
Hidayat Pawitan pun mengatakan, perubahan kota Bogor dari banyaknya pohon besar diganti dengan pohon perdu, membuat air hujan yang melimpah tidak terserap. Kalau di Bogor hal ini terjadi karena pembangunan sarana masyarakat, pohon perdu lebih enak dilihat atau dianggap lebih estetika ketimbang pohon-pohon besar.
Kawasan Puncak
Bukan cuma faktor internal saja yang menyumbang kenaikan suhu di kota Bogor, ternyata ada faktor eksternal. Sementara itu, Forest Watch Indonesia menilai, meningkatnya suhu serta berubahnya curah hujan selain dipengaruhi oleh pemanasan global di dunia, juga disebabkan oleh penyusutan luas hutan di pegunungan seperti di kawasan Puncak.
Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan berdasarkan pemantauan FWI selama 2010-2016, luas hutan di Puncak berkurang hingga 66 kali luas Kebun Raya Bogor. ”Yang tersisa saat ini sekitar 3.000 hektare atau 8,9 persen luas total DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung,” katanya. Bahkan, FWI mendapati daerah hulu Sungai Ciliwung, yakni Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara sempat kekurangan air pada musim kemarau 2015 untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Masalah terbesar sekarang bukan hal di atas namun, adalah tipikal kebanyakan orang sini yang nggak mau tahu apapun, kalau ditanya kenapa Bogor makin panas dan sudah nggak enak untuk ditinggali. Jawabannya nggak perduli, maklum orang sini tujuan hidupnya hanya berkembang biak ria, yang penting bisa kewong mehong dan shared ke sosmed sekuat tenaga. Kalau begitu apa bedanya dengan hewan yang hutannya dibabat tapi nggak bisa berbuat apapun?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Udah panas ya di bogor?
ReplyDeleteBaru tahu..
Visit back ya
Udah sebelas dua belas sama Jakarta suhunya.
Delete